Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
OPINI

Muhammadiyah, Sukomananti dan Nagari Auakuniang

496
×

Muhammadiyah, Sukomananti dan Nagari Auakuniang

Sebarkan artikel ini
Masjid Taqwa Muhammadiyah Sukomananti di Tapalan.(musriadi musanif)
Example 468x60

Oleh Musriadi Musanif

Pimpinan Redaksi MenaraMu Media PWM Sumbar

 

OPINI, potretkita.id – Keberadaan Muhammadiyah di Jorong Sukomananti dan Padang Tujuah, Nagari Aua Kuniang, Pasaman Barat, merupakan perjalanan dakwah yang unik. Sama uniknya dengan keberadaan Pimpinan Muhammadiyah Daerah (PMD) Kabupaten Pasaman pada masa lalu.

Unik, karena Muhammadiyah di sini tidak didirikan dan dikembangkan oleh muballigh atau pendakwah, guru, atau kalangan intelektual, sebagaimana di daerah-daerah lain di Indonesia.

Di sini, Muhammadiyah didirikan dan dikembangkan para pedagang, keliling dari pekan ke pekan, dan sopir angkutan umum.

PDM Pasaman unik karena tidak berkantor di Lubuksikaping selaku ibukota kabupaten, tetapi bersekretariat dan personil pimpinannya bermukim di Ujuang Gadiang, berjarak sekitar 150 kilometer. Kini, waktu tempuhnya sekitar empat hingga lima jam. Pada masa itu, waktu tempuhnya bisa 24 jam.

Setelah Kabupaten Pasaman dimekarkan jadi Pasaman dan Pasaman Barat, barulah sekretariat PDM Pasaman ada di Lubuksikaping, sementara di Ujung Gadiang menjadi pusat aktifitas PDM Pasaman Barat, yang kemudian berangsur-angsur bergeser ke Simpang Ampek selaku ibukota kabupaten.

Kembali ke uniknya Muhammadiyah Sukomananti dan Padang Tujuah. Sukomananti berbatasan langsung dengan Padang Tujuah. Hampir seratus persen penduduknya adalah pengikut setia Buya Lubua Landua.

Padang Tujuah adalah jorong, di mana pasar Nagari Aua Kuniang ditempatkan. Belum ditemukan catatan resmi, menyangkut angka pasti, soal tahun pertama kali Muhammadiyah masuk ke daerah itu.

Seingat penulis, Muhammadiyah sudah punya gedung dan Sekolah Dasar Muhammadiyah (SDM) tahun 1980. Penulis lahir tahun 1968. Melihat kondisi bangunan saat penulis menjadi murid di SDM Sukomananti itu, bisa diperkirakan sudah berusia lebih dari sepuluh tahun.

Bisa ditaksir, sebelum penulis lahir, Muhammadiyah sudah eksis di situ.

Di Pasar Padang Tujuah yang diramaikan setiap Senin, persisnya di belakang rumah nenek penulis bernama Ramlah dan Bastiah, sudah berdiri sebuah surau, yang kini dikenal Mushalla Al-Mukmin.
Kedua nenek penulis itu, maaf sedikit menonjol unsur kekeluargaan, pelopor berdirinya surau tersebut dan dibangun di atas tanah milik keduanya.

Setiap malam Senin atau Ahad malam, surau itu sangat ramai oleh para pedagang. Mereka berdiskusi, mengadakan pengajian, membahas ayat-ayat Alquran, dan membahas gerak Persyarikatan Muhammadiyah dalam sepekan.

Saudagar itu memang bermalam di Padang Tujuah, karena akan berdagang pada Seninnya di pasar, setelah sepanjang Ahad berdagang di Pasar Simpang Ampek.

Selain pedagang babelok, Muhammadiyah di Padang Tujuah juga didukung dan dikembangkan pedagang yang bermukim di sekitaran pasar. Ada yang pedagang kain, tukang jahit seperti Pak Kahar, dan pengusaha rumah makan.

Sementara di Sukomananti, Muhammadiyah disambut pengusaha sukses pada zamannya, di antaranya Bapak Lanin. Ada juga nama Pak Ramli, Syamsu, Ismail, dan Nenek Mila.

Pak Lanin adalah ayah kandung Dosen UNP dan Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Sumbar Prof. Dasman Lanin, Ph.D. Seluruh putra putrinya menjadi pendukung utama Muhammadiyah, yang kini berdomisili di berbagai kota. Ada di Jakarta, Bakauheni, Padang, dan Sukomananti.

READ  Gempa Magnitud 4,5 Dekat Airbangis Kagetkan Warga Pasbar

Sedangkan Ramli adalah ayah kanduang Ketua PRM Sukomananti saat ini Reflin. Syamsu adalah ayah dari Yubhar, salah seorang guru andalan di sekolah-sekolah Muhammadiyah, yang terdapat di Sukomananti sejak dahulu.

Ismail adalah saudara dari Syamsu. Keduanya adalah keluarga Nenek Mila.

Almarhum Ayah penulis bernama Musanif, hingga akhir hayatnya menjadi anggota Muhammadiyah di situ. Beliau memanggil Ramli, Syamsu, dan Ismail dengan ajo (kakak).

Sedangkan Lanin beliau sapa dengan mamak. Nenek Mila adalah eteknya, sama dengan Nenek Ramlah dan Bastiah di Padang Tujuah. Mereka sebenarnya masih karib kerabat dan keluarga dekat.

Kendati dekat dari Pasar Padang Tujuah, namun lima kepala keluarga (KK) yang tinggal di Kampuang Kubu, bergabung dengan kegiatan Muhammadiyah di Jorong Sukomananti yang dipusatkan di Komplek SDM.

Letaknya di belakang SD Negeri Sukomananti. SD Muhammadiyah itu sendiri, oleh masyarakat disebut dengan Sikola Bulakang, untuk mengatakan SDM terletak di belakang SDN.

Kendati hanya tujuh orang dalam satu kelas, penulis berhasil menamatkan pendidikan di Sikola Bulakang itu, ketika dipimpin almarhum Fachri Mandayu selaku kepala sekolah, untuk kemudian atas saran dan arahan para pimpinan Muhammadiyah di Sukomananti dan Padang Tujuah, melanjutkan pendidikan ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Tamiang Ujuang Gadiang.

Satu orang kader Muhammadiyah Sukomananti bernama Uni Jaih, saat ini tinggal di dekat SDN Kampuang Kubu, sudah terlebih dahulu merintis melanjutkan sekolah ke Muallimin Tamiang.

Waktu itu, Ujuang Gadiang adalah negeri jauh dan bersekolah ke sana bagi anak Nagari Aua Kuniang adalah semua keberanian luar biasa, karena butuh waktu lebih dari enam jam sampai ke sana, dengan akses transportasi yang amat jelek, dan diputus oleh Batang Pasaman di Nagari Aie Gadang.

Sementara Bapak Lanin bersama para sahabatnya sesama pimpinan dan anggota Muhammadiyah, terus berupaya mengembangkan SDM Sukomananti, kendati masyarakat Sukomananti nyaris tidak merespon positif keberadaan SDM itu.

Guru-guru hebat pun didatangkan dari Ujuang Gadiang, untuk mengembangkan konsep keunggulan di SDM, di antaranya adalah dua sahabat bernama B. Matondang dan Syamsuddin Lubis. Keduanya sudah meninggal dunia. Disusul Ibu Habibah dan beberapa guru lainnya tamatan Muallimin Muhammadiyah Tamiang.

SDM Sukomananti waktu itu juga menerima ‘murid titipan khusus’ PWM Sumbar yang berasal dari Kepulauan Mentawai. Salah seorangnya yang penulis masih ingat bernama Ngenai Brah.

Ingat, karena dia adik kelas persis setingkat di bawah penulis. Anak-anak titipan PWM Sumbar untuk dididik melalui SDM Sukomananti itu, tinggal bersama keluarga Bapak Lanin.

Di Tapalan, komplek Pendidikan Muhammadiyah Sukomananti saat ini, didirikan pula SMP Muhammadiyah.

Memasuki dasa warsa 80-an, SMP Muhammadiyah itu mengakhiri kegiatannya, digantikan dengan Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah (MTsM) Sukamenanti. Kini MTsM sudah wafat pula, dilanjutkan SMP Islam Al-Azhar Muhammadiyah.

Sama halnya dengan SDM dan SMPM, keberadaan MTsM juga tidak mendapat respon dari masyarakat. Hanya ‘anak-anak orang Muhammadiyah’ yang bersekolah di sana. Siswa pertamanya hanya sembilan orang, penulis adalah salah satunya.

READ  Gaspol Perlindungan Anak

Penulis bersama acik (adik ayah) Afriati, yang waktu itu sudah kelas II di Muallimin Muhammadiyah Tamiang tingkat tsanawiyah, ‘ditarik’ kembali ke Sukomananti, dan mendaftar sebagai siswa perdana dan kedua di MTsM itu.

Beberapa minggu kemudian, adik kelas penulis di SDM Sukomananti pun bergabung ke MTsM, dan beberapa siswa dari Jambu Baru dan Pinaga, sehingga jumlah kami menjadi sembilan orang.
Semangat pimpinan dan anggota Muhammadiyah di Sukomananti dan Padang Tujuah, ternyata tidak kendor mengembangkan madrasah ini. Ada iuran, donasi, dan beras genggam untuk menghimpun dana agar sekolah ini tetap bertahap.

Pembelajaran pun dimulai di bekas gedung SDM yang sudah mati. Lalu kemudian pindah ke mushalla yang dibangun di samping gedung SDM, karena ibu-ibu Aisyiyah mendirikan Taman Kanak-kanak Aisyiyah Bustanul Athfal (TKABA), lalu pindah lagi ke Tapalan, setelah gedung bekas SMP Muhammadiyah yang sudah merimba direhabilitasi.

Penulis tidak tahu persis, apa mushalla yang pernah jadi tempat belajar MTsM itu selesai dibangun atau tidak, karena waktu itu hanya terdiri lantai, atap, dan dinding darurat, seiring dibangunnya Mesjid Taqwa Muhammadiyah, saat ini yang berdiri megah di Jorong Tapalan.

MTsM Sukomananti berkampus di Tapalan hingga akhir hayatnya. Kampus Tapalan menjadi semarak ketika Pimpinan Pusat Muhammadiyah membangun mushalla, Masjid Taqwa saat ini, dengan dana bantuan dari Timur Tengah atas lobi pimpinan pusat, di antaranya negosiator dan diplomat ulung almarhum H. Lukman Harun.

Ada tiga mushalla yang dibangun sumber dana yang sama di Sumatera Barat, dua di antaranya ada di Pasaman Barat yang waktu itu mendapat perhatian khusus. Satu di Tapalan dan satu lagi lagi di Alamanda, Kinali.

Khusus Alamanda, juga dibangun Islamic Center Muhammadiyah. Arsitektur mushalla yang di Tapalan dan Alamanda sama persis, tapi kini keduanya sudah direhab pimpinan Muhammadiyah setempat dan alih status dari mushalla menjadi masjid.

Sekadar mengembalikan memori, ketika itu, Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Pasaman berkedudukan di Sukomananti.

Pimpinan rantingnya ada di Kajai (Kecamatan Talamau), Sasak, dan Rambah Kinali. Beberapa waktu kemudian bertambah dengan Cabang Pasaman Baru yang dimotori almarhum Anang Suryana, dan didukung beberapa orang guru, beserta pelajar SMA Negeri Simpang Empat yang kini, bernama SMAN 1 Pasaman.

Basis ranting baru ini ada di Masjid Jihad Muhammadiyah Pasaman Baru.

Darah segar pun mengalir ke Muhammadiyah Cabang Pasaman, sejalan dengan bergabungnya Chandra Mesra (almarhum) dan Mizlan ke jajaran pimpinan Muhammadiyah.

Keduanya adalah tokoh yang amat disegani masyarakat, karena bekerja di lembaga pemerintah yang amat dikagumi, yakni Dinas Perkebunan dan Tanaman Hortikultura Provinsi Sumatera Barat, yang khusus untuk Pasaman Barat, perjalanan menjadi kabupaten otonom waktu itu masih sangat jauh.

Unit ini berada langsung di bawah pembinaan pemerintahan Republik Federal Jerman, melalui institusi Area Development Project (ADP) West Pasaman.(bersambung)

Example 300250

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *